Fotosintesis
telah dipelajari sejak 300 tahun yang lalu, diawali dari eksperimen sederhana
yang dilakukan oleh Jan Baptista van Helmont (1577-1644), seorang ilmuwan
Yunani. Pada zaman itu, mereka berfikir bahwa tanaman benar-benar mendapatkan
segala yang dibutukan dari tanah. Untuk mengujinya Jan Baptista van Helmont
melakukan eksperimen sederhana dengan menanam pohon willow pada tanah
dalam pot dengan berat 57 gram. Setelah 5 tahun, pohon tersebut beratnya
meningkat hingga 74,4 kg. Dari hasil itu
disimpulkan bahwa komponen untuk pertumbuhan pohon willow tidak mungkin
seluruhnya hanya berasal dari tanah karena tanah yang dipakai hanya mempunyai
berat sebesar 57 gram namun pohon tersebut dapat tmbuh hingga 74,4 kg.
Joseph
Priestly (Inggris) secara tidak sengaja menemukan sebuah clue tentang
fotosintesis. Pada tanggal 17 agustus 1771,
Dia memasukkan tangkai pohon mint pada wadah berisi udara yang
telah digunakan untuk menyalakan lilin (konsentrasi CO2 tinggi).
Sepuluh hari kemudian, Dia mencoba menyalakan lilin lagi pada wadah tersebut
dan lilin itu ternyata masih menyala. Dari hasil percobaan tersebut, Dia
menyimpulkan bahwa vegetasi atau tumbuhan dapat mengembalikan kondisi udara
karena lilin tersebut dapat menyala kembali dan vegetasi atau tumbuhan
menambahkan suatu substansi pada udara. Namun substansi apakah yang
ditambahkan oleh vegetasi atau tumbuhan pada udara?
Dua
puluh lima tahun kemudian, Jan Ingenhousz (Belanda) baru dapat menjawab
pertanyaan tersebut. Jan Ingenhousz mengembangkan percobaan Joseph Priestly dan
mendapatkan hasil bahwa udara hanya dapat mengembalikan kondisi udara (restored)
jika ada cahaya dan hanya dapat dilakukan oleh daun tanaman, bukan akarnya.
Kemudian dia membuat hipotesis yang menyatakan bahwa bagian tanaman yang
berwarna hijau dapat melakukan suatu proses (saat ini disebut dengan
fotosentesis) yang memecahkan karbon dioksida (CO2) menjadi karbon
dan oksigen. Oksigen dilepaskan sebagai gas O2 ke udara, sedangkan karbon
dikombinasikan dengan air membentuk karbohidrat. Persamaan fotosintesis yang
didapatkan oleh Jan Ingenhousz adalah :
CO2 + H2O + energi cahaya —→ (CH2O) + O2
Pada persamaan
fotosintesis yang didapatkan oleh Jan Ingenhousz diatas, terdapat peran energi
cahaya di dalam prosesnya. Blackman, seorang ahli fisiologi tanaman dari
Inggris pada tahun 1905 mencoba mempelajari peran energi cahaya tersebut. Dari
hasil penelitiannya Blackman membuat kesimpulan yang mengejutkan bahwa fotosentesis
terdiri dari 2 tahapan proses dan hanya satu tahapan yang membutuhkan energi
cahaya.
Dalam
penelitiannya . Blackman mengukur pengaruh intensitas cahaya, konsentrasi CO2,
dan suhu terhadap fotosntesis. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil :
- ketika intensitas cahaya rendah, laju fotosintesis yang terjadi hanya
dapat ditingkatkan dengan menambahkan intensitas cahaya, tidak dapat
ditingkatkan dengan penambahan konsentrasi CO2.
- ketika intensitas cahaya, laju fotosintesis dapat ditingkatkan
dengan menaikkan konsentrasi CO2 dan suhu.
Dari hasil
penelitian itu, Blackman menyatakan bahwa reaksi yang pertama pada fotosintesis
disebut dengan reaksi terang karena dalam reaksi tersebut proses
fotosintesis membutuhkan cahaya, namun tidak bergantung pada suhu. Sedangkan
reaksi yang kedua disebut dengan reaksi gelap karena dalam reaksi
tersebut tidak membutuhkan cahaya / tidak dipengaruhi cahanya, namun bergantung
pada konsetrasi CO2. Blackman juga menyatakan bahwa penambahan suhu dapat
meningkatkan laju reaksi gelap namun hanya sampai pada suhu 350C
karena jika suhu melebihi 350C, laju reaksi gelap justru akan
menurun drastis. Hal itu disebabkan karena pada suhu 350C keatas,
kebanyakan enzim pada tanaman akan terdenaturasi.
![]() |
Penemuan reaksi gelap; a. Blackman penemu reaksi gelap, b. pengaruh cahaya dan karbon dioksida (CO2) pada fotosintesis |
Kata Kunci :
penemuan fotosintesis, penelitian tentang fotosintesis, penemuan reaksi gelap dalam fotosintesis, penemuan reaksi gelap dalam fotosintesis
0 komentar