Protein merupakan makromolekul dalam sel yang strukturalnya paling beragam dan kompleks. Protein mempunyai fungsi protein yang spesifik dan sangat ditentukan oleh struktul tiga dimensinya Sehingga setiap sel harus memastikan protein dan disintesis mempunyai struktur tiga dimensi yang sesuai meskipun berapa dalam kondisi stress.
Kondisi stress pada sel aerobic salah satunya mengakibatkan akumulasi reactive oxygen species (ROS) dan reactive chlorine species (RCS) dan keduanya sangat reaktif. ROS dan RCS dapat mengganggu proses metabolik, transkriptomik, dan proteomik. Protein adalah salah satu molekul yang diserang oleh ROS dan RCS karena banyak asam amino penyusun protein yang sangat sensitif terhadap oksidasi. Asam amino yang paling banyak ditemukan mengalami modifikasi ketika dalam keadaan stress adalah sistein dan metionin karena keduanya mempunyai kecepatan reaksi yang tinggi terhadap radikal hidroksil (~106–108 M-1s-1). Peroksida umumnya reaktif terhadap tiol (controh : peroxiredoxin). Protein cenderung mengalami sejumlah modifikasi rantai samping yang ireversibel, misalnya overoksidasi tiol, karbonilasi dan pembentukan di-tirosin. Rantai polipeptida yang baru saja disintesis merupakan bagian yang paling sensitive terhadap rentang terdampak kondisi stress namun mature protein juga dapat terdampak kondisi stress.
Kontrol fungsi protein ketika terjadi stress oksidatif.
Kontrol fungsi protein ketika terjadi stress oksidatif melibatkan protein-protein yang sensitif terhadap reaksi redoks. Protein yang sensitif terhadap reaksi redoks ditandai dengan adanya satu atau lebih gugus tiol. Gugus tiol merupakan gugus fungsi yang reaktif dengan slow-acting oxidants, misalnya peroksida. Oksidasi yang terjadi pada protein tersebut akan menyebabkan perubahan ikatan disulfida intramolekul, ikatan disulfida intermolekuler, pembentukan asam sulfenat, asam sulfonat, atau sulfenilamida. Perubahan ikatan akan mengubah bentuk 3 dimensi protein sehingga protein tidak akan berfungsi dengan semestinya. Namun glutaredoxin dan thioredoxin mampu mengembalikan perubahan pada gugus tiol tersebut ke bentuk awal.
Adaptasi metabolik terhadap stress oksidatif
Rangkaian asam amino yang baru disintesis (belum membentuk struktur tersier / quartener) dan protein yang telah fungsional akan mengalami perubahan yang irreversible pada rantai samping sehingga menyebabkan ulfolding protein dan berpotensi terjadi agregasi protein yang irreversible jika dalam sel terdapat banyak ROS dan RCS. Sel memiliki mekanisme agar perubahan pada rantai samping tidak terjadi. Berbagai sel, mulai dari sel bakteri hingga sel mamalia mempunyai mekanisme yang hampir sama dalam merespon akumulasi ROS dan RSC, yaitu dengan menurunkan 50 % konsentrasi ATP. Penurunan ATP tersebut berkaitan dengan inaktivasi enzim yang terlibat dalam sintesis ATP. Inaktivasi enzim yang terlibat dalam sintesis ATP memicu re-routing glukosa dari glikolisis ke jalur pentosa fosfat. Hal tersebut secara efektif mampu menurunkan sintesis ATP dan menaikkan jumlah NADPH yang terbentuk. NADPH diperlukan dalam sistem thioredoxin dan sistem glutaredoxin yang keduanya sangat penting untuk memulihkan homeostasis redoks seluler. Beberapa bakteri (mungkin organisme lain juga) mengubah ATP dalam sel menjadi rantai panjang PolyP yang mempunyai kemampuan sebagai protein stabilizer sehingga menurunkan agregasi protein dan meningkatkan resistensi terhadap stress oksidatif.
![]() |
Gambar 1. Regulasi rangkaian sintesis protein ketika kondisi stres dan kondisi normal |
Keterangan gambar :
Dalam kondisi non-stress, protein folding terjadi sesaat setelah proses translasi dan dibantu oleh canonical chaperone systems yang dalam mekanismenya membutuhkan ATP. Setelah proses protein folding selesai, protein dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Protein yang sudah tidak digunakan lagi kemudian didegradasi. Sinyal degradasi memicu ubiquitination dan 26S proteasome untuk mendegradasi protein.Mekanisme digradasi protein oleh 26S proteasome juga membutuhkan ATP. Dalam kondisi stress oksidatif, konsentrasi ATP di dalam sel menurun, sehingga menurunkan aktifitas yang membutuhkan ATP (aktivitas canonical chaperone systems dan 26S proteasome). Untuk melindungi dari degradasi dan agregasi protein karena ROS dan RCS, sel melakukan beberapa mekanisme yaitu (1) menurunkan laju sintesis protein, (2) mengaktifkan ATP-independent chaperone, (3) mengubah ATP ke polifosfat, (4) meningkatkan aktifitas ATP-independent 20S proteasome.
Dalam kondisi non-stress, protein folding terjadi sesaat setelah proses translasi dan dibantu oleh canonical chaperone systems yang dalam mekanismenya membutuhkan ATP. Setelah proses protein folding selesai, protein dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Protein yang sudah tidak digunakan lagi kemudian didegradasi. Sinyal degradasi memicu ubiquitination dan 26S proteasome untuk mendegradasi protein.Mekanisme digradasi protein oleh 26S proteasome juga membutuhkan ATP. Dalam kondisi stress oksidatif, konsentrasi ATP di dalam sel menurun, sehingga menurunkan aktifitas yang membutuhkan ATP (aktivitas canonical chaperone systems dan 26S proteasome). Untuk melindungi dari degradasi dan agregasi protein karena ROS dan RCS, sel melakukan beberapa mekanisme yaitu (1) menurunkan laju sintesis protein, (2) mengaktifkan ATP-independent chaperone, (3) mengubah ATP ke polifosfat, (4) meningkatkan aktifitas ATP-independent 20S proteasome.
Baca Juga : Regulasi Ekspresi Gen Pada Eukariotik
Adaptasi Protein Folding selama Stres oksidatif
Sel
mempunyai strategi untuk untuk mencegah kesalahan dalam proses folding protein.
Strategi tersebut meliputi upaya menurunkan konsentrasi asam amino yang rentang
terhadap agregasi dan represi ekspresi gen. Represi gen dimediasi oleh eIF2a kinases yang memfosfolarisasi translational
initiation factor 2 alpha (eIF2a). Fosfolarisasi eIF2a menyebabkan penurunan translasi mRNA cap-dependent.
Pada waktu yang bersamaan, translasi mRNA cap-independent diinisiasi, dan
menghasilkan protein yang terlibat dalam proses adaptasi dan protein untuk
merespon stress.
Ketika seluruh proses translasi terhenti, mRNA, faktor
inisiasi, dan protein pengikat RNA lainnya akan berkumpul dalam granula stress
dan p-body yang keduanya terbentuk pada saat terjadi oksidasi stress. Granula
stress berperan melindungi mRNA dan memicu re-inisiasi translasi protein
sesegera mungkin setelah oksidasi stress berakhir.
Adaptasi Degradasi Protein dalam kondisi stress oksidatif
Ketika
protein tidak dibutuhkan lagi, protein akan ditempeli oleh ubiquitin. Kompleks
protein dan ubiquitin akan dikenali dan didegradasi oleh 26S proteasome. 26S
proteasome tersusun dari sub unit 20S core yang kedua ujungnya terdapat sub
unit 19S cap. Sub unit 19S cap mengenali dan mengikat kompeks protein-ubiquitin
kemudian melepaskan ubiquitin dari ikatan dan memfasilitasi ikatan protein
dengan sub unit 20S core (membutuhkan ATP). Sub unit 20S core mempunyai fungsi
proteolysis yaitu mendegradasi protein menjadi asam amino.
Pada
kondisi stress oksidatif, fragmen-fragmen protein yang tidak terfolding
sempurna akan langsung menempel pada sub unit 20S core tanpa membutuhkan ATP.
Oksidasi gugus tiol pada sub unit 20S core menyebabkan kedua sub unit 19S cap
lepas dari 26S proteasome. Stress oksidatif yang kronis akan memicu ekspresi
sub unit 11S dan sub unit i20C yang keduanya dapat mendegradasi protein tanpa
membutuhkan ATP.
Demikian postingan tentang Adaptasi Degradasi Protein dalam kondisi stres oksidatif, SEMOGA BERMANFAAT
0 komentar